Sabtu, 11 Oktober 2014

KEBEBASAN BERPENDAPAT DI INDONESIA














Pendapat secara umum digambarkan sebagai sebuah ide, gagasan, dan pemikiran. Berpendapat dapat diartikan menyampaikan ide atau buah pemikiran kepada orang lain. Kebebasan berpendapat merupakan hal yang penting, bahkan sangat penting. John Stuart Mill, seorang filusuf berkebangsaan Inggris, juga menyatakan betapa pentingnya kebebasan berpendapat.

Di negara tercinta, Republik Indonesia ini, kebebasan berpendapat bahkan telah diberi landasan atau dasar hukum yang pasti dalam UUD 1945 Pasal 28. Dalam pasal tersebut telah terkandung  bahwa semua warga negara berhak mengeluarkan pikiran melalui lisan, tulisan, dan sebagainya yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang. Mengapa pemerintah dahulu sampai membuat aturan tersebut? Karena para pejuang kemerdekaan itu menyadari bahwa menyampaikan pendapat adalah perkara yang krusial. Perkara yang krusial seharusnya dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.

Namun apa yang terjadi sekarang? Para pejabat yang bergelimang harta, menyelewengkan aspirasi rakyat. Mereka merampas apa yang seharusnya menjadi hak rakyat. Setiap melihat berita di televisi pasti ada-ada saja kasus korupsi yang muncul. Tidak hanya satu dua, bahkan puluhan, mungkin ratusan. Dan mungkin baru itu saja kasus yang tercium oleh aparat. Masih banyak kasus yang terselubung dan terjadi dengan penuh strategi politik.

Setiap wakil-wakil rakyat memang dengan bebasnya mengeluarkan pendapat. Tapi di lain pihak, rakyat tertekan. Rakyat ingin suara mereka didengarkan. Sudah banyak bentuk protes dan kritik yang disampaikan melalui berbagai media. Mulai dari surat kabar, polling, blog, demo, bahkan penyampaian secara langsung telah dilakukan. Namun apa yang terjadi. Tidak ada. Tidak ada perubahan yang terjadi. Mereka yang sudah menduduki singgasana pemerintahan tidak mau mendengarkan aspirasi masyarakat yang ada di bawah. Pemerintah seakan-akan tuli, dan buta akan penderitaan rakyat.

Kita lihat kasus yang belum lama terjadi. Coba sejenak kita ingat kasus Prita Mulyasari. Kasus yang terjadi 2009 silam, merupakan salah satu isu penyelewengan kebebasan berpendapat yang cukup fenomenal. Awalnya, Prita hanya ingin mengutarakan isi hati dan keluhannya kepada teman-temannya. Namun siapa sangka, curhat Prita justru membuatnya masuk ke jeruji besi. Prita mengkritik pelayanan OMNI Interntional Hospital. Pemilik rumah sakit tersebut tidak terima akan kritikan Prita dan mengajukan gugatan dengan alasan pencemaran nama baik. Akhirnya Prita kalah suara dan masuk sel tahanan.

Sebenarnya kasus-kasus yang serupa telah terjadi berulang kali. Seperti yang dialami Alvin Lie dan Narliswandi Piliang pada 2008 silam. Narliswandi dituduh telah mencemarkan nama baik karena menulis dalam blog pribadinya. Kemudian Erick Adriansyah pernah dianggap menyebarkan isu negatif terkait kesulitan likuiditas bank. Terakhir yang paling misterius hingga sekarang yaitu kasus Munir. Kasus yang dianggap pelanggaran HAM itu masih saja ditutupi.

Beberapa contoh kasus di atas sudah cukup menggambarkan bagaimana kebebasan berpendapat yang notabene sebagai Hak Asasi Manusia yang harus dijaga dan dilindungi, namun dalam praktiknya, justru begitu mudah dilanggar. Terutama mereka yang memiliki kekuasaan atau jabatan yang lebih tinggi.


Apakah pemerintah tetap masih tuli? Atau kah jeritan hati rakyat Indonesia masih kurang keras? Jangan sampai Indonesia ini menjadi negara diktator. Merdeka!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar